Kamis, 31 Maret 2016

Pulang

Terlalu sunyi hingga suara angin menerpa dedauanan pohon pun terdengar jelas di telingaku. Di bawah temaram lampu kuning di taman dekat terminal aku menunggu. Sudah genap sepuluh tahun lebih kami tidak bertemu. Entah seperti apa rupanya sekarang. Dulu dia sering menyisir rambut ikalku sampai hampir lurus, klimis dengan polesan minyak urang-aring.

Dia memiliki mata cokelat seperti mata ibunya. Aku tidak suka melihatnya. Seperti ada sepasang mata dibalik kepalanya, mata yang sama, menatapku dengan nanar, marah. Aku lebih suka berdiri dibalik badannya, menunduk sambil menyisir rambutnya. 

Angin bertiup terlalu kencang dan dingin. Musim kemarau memang begini. Jahe hangat bisa dengan mudah mengusirnya, aku tak perlu gusar. Seharusnya aku membawa uang barang seribu-dua ribu. Bodohnya aku karena terlalu bahagia. Tapi benarkah aku bahagia?

Waktu itu, aku masih terlalu muda untuk memberinya nasehat. Kami masih hidup di atap yang sama dengan kakakku. Aku juga tak tahu apa yang dipikirkan tetangga tentang aku, tentang kami. Aku tak mau memikirkannya. Tapi mungkin kakakku yang menanggung semuanya. Entahlah, aku masih terlalu muda untuk itu. Kami masih sama-sama bau kencur, namun untuk urusan yang berbeda.

Mengapa busnya tak juga datang. Aku tak suka menunggu. Aku juga tak yakin sepuluh tahun ini apakah aku menunggunya. Hambar, dia pergi tanpa kabar dan sekarang kembali begitu saja. Aku kaitkan semua kancing jaket jeans ku. 

Aku peluk rapat tasku. Ada seragam, sepatu, dan semua perlengkapan sekolah. Aku sudah menjual semua yang aku punya di kota. Penjaga kios di ujung jalan itu benar. Tak ada gunanya aku menanggung malu dan menjadi pengecut kalau aku bisa memperbaikinya. Aku akan pulang.

Paman menyuruhku menunggu di pinggir stasiun, di taman dekat gapura. Hanya ada satu gapura disekitar sini, harusnya tidak sulit dicari jika dia memang sudah datang. Aku mulai berpikir untuk apa aku menunggunya. Paman cukup kejam kali ini. Bukankah tidak baik seorang gadis pergi ke stasiun sendirian malam-malam. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Di ujung jalan terlihat segerombolan tukang ojek yang hampir menyerupai sekumpulan preman menurutku. Aku menghela napas pelan. Baiklah mungkin setengah jam lagi, mungkin jalanan macet.

Seperti apa dia sekarang? Apakah dia akan mendengarkanku kali ini? Aku sudah cukup umur untuk bisa memberinya nasehat. Aku telah pergi ke berbagai kota, bekerja di bawah banyak majikan, sampai berani membuka usaha sendiri. Aku sudah cukup makan asam garam kehidupan. Sudah sering menyelesaikan banyak masalah kehidupan. Aku tau apa yang diinginkan nasib terhadapku.

Akhirnya aku melihat sebuah bus dari ujung jalan, mulai melambatkan lajunya, menepi untuk berbelok ke terminal. Diakah itu?

Apakah dia sudah tau kenapa aku pergi? Apakah dia akan memaafkan kepengecutanku ini? Apakah dia mau mendengarkan semua ceritaku?

Yah, itu dia. Seorang lelaki separuh baya berjalan dengan memeluk erat sebuah tas seakan takut tas itu direbut darinya. Dia datang. Bapak.

Sabtu, 19 Maret 2016

Tinggal


In a reply for ’Mengapa Belum Juga?’ By Azhar Nurun Ala.


Pantai,
Sudah takdir bahwa air dan daratan memang tidak satu.
Bersama, dekat, ataupun lekat adalah asa.
Namun Pantai Portleven di Inggris hilang jua hanya dalam semalam,
hempasan gelombang terlalu tinggi.



Panas,
Bersumpah selamanya menjiwai api.
Namun NASA membakar karbon di luar angkasa,
dan api hanya seperempat dari panas api seharusnya.
Panas telah dikhianati.


Dingin,
Siapalah salju yang hanya tetesan beku dari air.
Nitrogen, Oksigen, dan Neon cair bahkan ratusan kali lebih dingin.
Dan mau berkata apa ia jika bertemu dengan semesta yang hampir tiga ratus kali lebih dingin darinya?



Dan aku?
Jangan minta aku tinggal,
sedangkan kamu tiada.


"For me, the world is bigger than its seen."


Purwakarta,

18 Maret 2016