Minggu, 03 April 2016

Kudis

Respati sudah berhenti menangis. Dia membuatku terjaga sampai larut. Kali ini Sri sudah keterlaluan. Dia tidak pulang, wajarlah Respati nangis. Anak kecil itu, mau diapain juga tetep butuh ibunya. Dia belum tau seperti apa dan apa saja yang dilakukan ibunya diluar, selama dia digendong ibunya, pasti damai. Aku iri pada Respati. Seandainya aku masih bisa memeluknya dengan kasih ketika diluar sana dia mesra dengan lelaki lain.

Sri masih muda, dia baru dua puluh dua tahun. Aku menikahinya ketika dia lulus SMA. Dasar cantik, walaupun sudah melahirkan Respati, dia masih bak bunga desa di sini. Rambutnya hitam bergelombang. Aku jatuh cinta padanya seketika aku melihatnya tersenyum. Aku akan menikahinya janjiku.

Aku kira dia bahagia aku ajak hidup bersama. Mengandalkan jatah beras dari paruh hasil panen petani yang menggarap sawahku, sementara aku berdagang baju di kiosku, di pasar. Namun, sejak setahun lalu, ketika Sri mulai kursus menjahit di Kecamatan, dia sering pulang kesorean, bahkan kerap pula ba’da isya’ dia baru sampai rumah.

Macam-macam alasan Sri pulang telat. Pernah sekali karena tugas tambahan. Sekali pula dia pakai alasan kecopetan. Ada lagi ban angkudes yang dia tumpangi bocor. Sri tak pandai berbohong. Aku selalu tahu kalau dia bohong, lengannya akan digaruk seperti gatal. Jelas sekali. Selidik punya selidik, aku tahu dia sering piknik atau sekedar jalan-jalan dengan teman-teman kursusnya. Namun, yang jadi beban pikiranku adalah guru kursusnya. Adam itu duda tanpa anak, dia cerai sama mantan istrinya karena kepincut istri tetangga. Sudah pasti suami tetangganya itu ngamuk, terus pindah rumah. Aku takut Sri jadi sasaran selanjutnya. Sri masih terlalu polos.

Benar saja, Sri jadi lebih pandai berbohong akhir-akhir ini. Minggu lalu dia alasan pulang malam gara-gara harus beli bahan ke kota. Tugas dari guru kursusnya katanya. Jelas aja itu alasan Adam biar bis berduaan sama Sri. Empunya kios di perempatan terminal bilang kalau lihat Sri digonceng Adam. Mereka kelihatan mesra. Aku tahu semuanya. Dagang di pasar membuat semua informasi tentang Sri di tempat kursus sampai padaku.

Yang paling parah ya hari ini, sampai larut begini Sri belum pulang. Tanpa kabar. Aku sudah siap-siap sapu buat mukulin dia sesampainya di rumah nanti. Awas aja kalau besok aku sampai denger mereka pergi berdua. Awas aja kamu Sri. Mau alasan apalagi kamu.

Respati sudah tidur. Aku masih megap-megap, mondar-mandir kalap, nunggu Sri pulang. Pukul 1 dini hari. Kemana kamu Sri?

Pukul tiga dini hari, ayam jantan mulai berkokok lagi. Sudah sepertiga malam terakhir. Sri tidak pulang. Aku sama sekali tidak mengantuk. Aku sudah siapkan semua amunisi kali ini untuk membuat Sri tak punya alasan lagi. Kali ini sudah tidak bisa dimaafkan.

Subuh akhirnya datang. Aku tidak tidur semalaman, menunggu Sri pulang. Habis  sholat subuh aku sudah berniat lanjut ke rumah Pak RT melaporkan ketidakpulangan Sri. Aku yakin Sri bersama si Duda kampung sebelah itu. Aku sudah siap memergoki mereka.

"Tok tok tok"
Siapa itu subuh-subuh bertamu. Jangan-jangan Sri pulang. Aku bergegas membuka pintu.
"Pak Jali, Sri di rumah sakit di Kabupaten, Pak".
Seketika jantungku seperti berhenti berdetak sejenak. Ngapain aja aku semalaman ini bukannya mencari Sri, malah mikir yang tidak-tidak di rumah.
"Kok bisa, Pak RT? Sri kenapa?"

Pak RT Membawaku dengan mobil pick up nya ke rumah sakit segera. Aku gendong Respati yang masih tertidur.

"Mas Jali, Sri alergi gelang dari Mas Jali"

Dokter bilang Sri alergi gelang emas yang dia pakai di lengan kirinya. Itu gelang emas dariku. Aku bilang gelang itu jangan dilepas, itu hadiah buat Sri. Lengan kiri Sri selalu gatal-gatal tapi dia mengira kalau itu kudis, jadi dia hanya oles salep saja setiap hari. Lama-kelamaan kulitnya infeksi sampai sulit napas. Akhirnya kemarin sore dia pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.

Pantas saja dia selalu garuk-garuk lengannya akhir-akhir ini. Maafkan Mas Jali ,Sri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar